PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP REMAJA DALAM KASUS ABORSI DI LUAR NIKAH BERDASARKAN KUHP DAN UU KESEHATAN
Main Article Content
Abstract
Fenomena aborsi di luar nikah pada kalangan remaja menjadi salah satu isu krusial dalam sistem hukum dan kesehatan di Indonesia, yang tidak hanya berdimensi yuridis, tetapi juga menyangkut hak asasi manusia, moralitas sosial, dan krisis edukasi seksual. Banyak remaja yang mengalami kehamilan tidak diinginkan mengambil keputusan untuk melakukan aborsi secara ilegal karena tekanan sosial, stigma, serta minimnya pemahaman terhadap hak-hak reproduksi dan perlindungan hukum yang seharusnya melekat pada mereka. Padahal, KUHP sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 dan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah memberikan pengecualian terhadap pidana aborsi, khususnya dalam kondisi kehamilan akibat pemerkosaan, ancaman terhadap nyawa ibu, atau janin cacat berat. Namun, norma hukum yang sudah relatif progresif ini belum diimbangi oleh implementasi yang merata dan responsif terhadap kebutuhan remaja, Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan analisis deskriptif terhadap ketentuan hukum nasional serta hasil-hasil studi ilmiah terkait kasus aborsi remaja. Hasil penelitian menunjukkan adanya kesenjangan antara hukum normatif dan praktik sosial yang mengakibatkan remaja lebih sering menjadi korban kriminalisasi dibandingkan sebagai subjek hukum yang perlu dilindungi. Ketidaksiapan lembaga pelayanan publik, rendahnya literasi hukum dan kesehatan reproduksi, serta kuatnya kontrol moral masyarakat menyebabkan banyak remaja mengalami trauma fisik dan psikis pasca-aborsi tanpa dukungan hukum dan medis yang memadai. Oleh karena itu, perlindungan hukum terhadap remaja dalam kasus aborsi seharusnya tidak hanya dibatasi pada aspek legalisasi semata, tetapi juga mencakup akses terhadap informasi, layanan kesehatan yang aman dan ramah remaja, serta pendekatan hukum yang lebih restoratif dan edukatif. Secara umum, penelitian ini memberikan gambaran bahwa regulasi hukum yang telah tersedia belum sepenuhnya mampu menjawab realitas sosiologis yang dihadapi remaja dalam kasus kehamilan tidak diinginkan. Perlindungan hukum yang sejati terhadap remaja hanya akan terwujud apabila hukum berfungsi sebagai mekanisme pemulihan, bukan sekadar penghukuman. Hasil kajian menegaskan bahwa pendekatan restorative justice lebih relevan diterapkan dalam kasus aborsi remaja, dengan mengutamakan perlindungan psikologis, pendidikan seksual komprehensif, dan akses terhadap pelayanan hukum dan kesehatan yang inklusif. Negara harus memperkuat sinergi antara kebijakan pidana, kebijakan kesehatan, dan pendidikan agar remaja tidak terjerat dalam praktik aborsi ilegal yang berisiko tinggi. Dengan demikian, kontribusi penelitian ini terletak pada usulan integratif bagi reformasi perlindungan hukum remaja yang lebih responsif terhadap konteks sosial dan kebutuhan riil di lapangan