KEWENANGAN DOKTER FORENSIK DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN MENGGUNAKAN ZAT-ZAT BERBAHAYA ATAU RACUN
Main Article Content
Abstract
Tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana kewenangan dokter forensik dalam mengungkap kasus pembunuhan yang menggunakan zat-zat berbahaya atau racun di Pengadilan dan bagaimana akibat hukum terhadap penyimpangan oleh dokter forensik yang menangani kasus pembunuhan menggunakan zat-zat berbahaya atau racun, di mana dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Dasar hukum forensik terdapat dalam KUHP sehubungan dengan keterangan ahli termasuk dokter ahli forensic diatur dalam Pasal 224 dan Pasal 522 KUHP, sedangkan dalam KUHAP mengenai ahli kedokteran diatur dalam Pasal 133 ayat (1), juga dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Kedokteran Kepolisian. Peran dokter forensik dapat dilakukan pada tahap Penyelidikan yakni saat Pemeriksaan di TKP dan analisis data yang ditemukan, selanjutnya tahap Penyidikan yakni Pembuatan visum et repertum dan BAP saksi ahli dan hingga tahap Persidangan di Pengadilan. Kewenangan dokter forensik dalam memberikan keterangan sebagai saksi ahli juga menjelaskan kaitan mengenai hubungan kausalitas antara korban dan pelaku kejahatan berdasarkan laporan dalam visum et repertum. 2. Akibat hukum terhadap penyimpangan di dalam praktek kedokteran forensik dalam kasus pembunuhan menggunakan zat-zat berbahaya atau racun sama dengan penyimpangan dalam praktek kedokteran umum. Peraturan yang mengatur tentang praktek kedokteran dan medis terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedoteran. Di samping peraturan yang terdapat dalam undang-undang mengenai praktek kedokteran terdapat juga standar Tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana kewenangan dokter forensik dalam mengungkap kasus pembunuhan yang menggunakan zat-zat berbahaya atau racun di Pengadilan dan bagaimana akibat hukum terhadap penyimpangan oleh dokter forensik yang menangani kasus pembunuhan menggunakan zat-zat berbahaya atau racun, di mana dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Dasar hukum forensik terdapat dalam KUHP sehubungan dengan keterangan ahli termasuk dokter ahli forensic diatur dalam Pasal 224 dan Pasal 522 KUHP, sedangkan dalam KUHAP mengenai ahli kedokteran diatur dalam Pasal 133 ayat (1), juga dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Kedokteran Kepolisian. Peran dokter forensik dapat dilakukan pada tahap Penyelidikan yakni saat Pemeriksaan di TKP dan analisis data yang ditemukan, selanjutnya tahap Penyidikan yakni Pembuatan visum et repertum dan BAP saksi ahli dan hingga tahap Persidangan di Pengadilan. Kewenangan dokter forensik dalam memberikan keterangan sebagai saksi ahli juga menjelaskan kaitan mengenai hubungan kausalitas antara korban dan pelaku kejahatan berdasarkan laporan dalam visum et repertum. 2. Akibat hukum terhadap penyimpangan di dalam praktek kedokteran forensik dalam kasus pembunuhan menggunakan zat-zat berbahaya atau racun sama dengan penyimpangan dalam praktek kedokteran umum. Peraturan yang mengatur tentang praktek kedokteran dan medis terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedoteran. Di samping peraturan yang terdapat dalam undang-undang mengenai praktek kedokteran terdapat juga standar.
The purpose of the study is to find out how the authority of forensic doctors in uncovering murder cases using dangerous substances or poisons in the Court and what are the legal consequences for irregularities by forensic doctors who handle murder cases using dangerous substances or poisons, where using normative legal research methods are concluded 1. The legal basis for forensics is contained in the Criminal Code in relation to expert testimony, including forensic experts, regulated in Article 224 and Article 522 of the Criminal Code, while in the Criminal Code regarding medical experts is regulated in Article 133 paragraph (1), as well as in the Regulation of the Chief of the National Police of the Republic of Indonesia Number 12 of 2011 concerning Police Medicine. The role of the forensic doctor can be carried out at the Investigation stage, namely during the Examination at the Crime Scene and the analysis of the data found, then the Investigation stage, namely the Making of visum et repertum and BAP of expert witnesses and up to the Trial stage in Court. The authority of the forensic doctor in giving testimony as an expert witness also explains the link regarding the causal relationship between the victim and the perpetrator of the crime based on the report in visum et repertum. 2. The legal consequences of deviations in the practice of forensic medicine in the case of murder using dangerous substances or poisons are the same as deviations in the practice of general medicine. In addition to the regulations contained in the law regarding medical practice, there are also standards The purpose of the research is to find out how the authority of forensic doctors in uncovering murder cases using dangerous substances or poisons in the Court and what are the legal consequences for deviations by forensic doctors who handle murder cases using dangerous substances or poisons, where by using normative legal research methods Concluded: 1. The legal basis for forensics is contained in the Criminal Code in relation to expert testimony including forensic expert doctors regulated in Article 224 and Article 522 of the Criminal Code, while in the Criminal Code regarding medical experts is regulated in Article 133 paragraph (1), as well as in the Regulation of the Chief of the National Police of the Republic of Indonesia Number 12 of 2011 concerning Police Medicine. The role of the forensic doctor can be carried out at the Investigation stage, namely during the Examination at the Crime Scene and the analysis of the data found, then the P stage.