Abstract
Perjanjian Abraham (Abraham Accords) yang ditandatangani sejak
tahun 2020 antara Israel dan beberapa negara Arab seperti Uni
Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko menandai pergeseran
besar dalam politik kawasan Timur Tengah. Normalisasi ini tidak
dibarengi dengan penyelesaian konflik Palestina, melainkan lebih
menonjolkan kepentingan strategis seperti aliansi anti-Iran, kerja
sama ekonomi, dan stabilitas regional. Menurut Marc Lynch,
kesepakatan tersebut lebih mencerminkan pragmatisme otoriter
daripada rekonsiliasi ideologis. Di sisi lain, opini publik Arab
umumnya tetap menolak normalisasi tanpa solusi adil bagi Palestina,
sebagaimana dicatat oleh Shibley Telhami. Artikel ini bertujuan
menganalisis dampak geopolitik Perjanjian Abraham, pergeseran
politik identitas negara-negara Arab, serta respons negara-negara
mayoritas Muslim seperti Indonesia, Turki, dan Iran. Kajian ini
menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif berbasis studi
pustaka. Temuan awal menunjukkan adanya jurang antara kebijakan
elite dengan persepsi publik, serta arah baru politik identitas Islam
yang lebih pragmatis dalam menghadapi tekanan global.