MAKNA FILOSOFI TRADISI KIRAB PUSAKA R. M DJAYENG KOEOSOMO DAN FESTIVAL TAKIR PLONTANG PADA PERINGATAN HARI JADI DESA DEMUK KECAMATAN PUCANGLABAN KABUPATEN TULUNGAGUNG
Main Article Content
Abstract
Penelitian ini mengkaji makna filosofis tradisi Kirab Pusaka R.M. Djayeng Koesomo dan Festival Takir Plontang dalam peringatan hari jadi Desa Demuk, Tulungagung, sebagai wujud pelestarian budaya lokal di tengah arus globalisasi. Dengan pendekatan kualitatif lapangan—meliputi observasi partisipatif, wawancara semi‑terstruktur dengan pelaku ritual, juru kunci, dan keturunan tokoh adat, serta dokumentasi audiovisual—penelitian ini mengungkap empat fokus makna: pertama, keselamatan dan keberlangsungan desa yang diwujudkan melalui istighosah dan ruwatan agung; kedua, penghormatan kepada leluhur lewat prosesi kirab pusaka dan tabur bunga; ketiga, kesinambungan cita‑cita pendiri Desa Demuk yang dimediasi sarasehan lintas generasi; dan keempat, inovasi dalam pelestarian tradisi—termasuk pemecahan rekor MURI 13.100 Takir Plontang—sebagai sarana edukasi budaya dan kebanggaan kolektif. Melalui temuan ini, tradisi sakral di Desa Demuk terbukti tidak hanya menjaga warisan nenek moyang, tetapi juga memperkuat identitas budaya dan memfasilitasi pembaruan sosial berkelanjutan.
Kata kunci: Kirab Pusaka Takir Plontang Pelestarian Budaya Makna Filosofis.
Abstract
This study examines the philosophical meaning of the Kirab Pusaka R.M. Djayeng Koesomo tradition and the Takir Plontang Festival in commemorating the anniversary of Desa Demuk, Tulungagung, as a form of preserving local culture amidst the flow of globalization. With a qualitative field approach—including participatory observation, semi-structured interviews with ritual actors, caretakers, and descendants of traditional figures, as well as audiovisual documentation—this study reveals four focuses of meaning: first, the safety and sustainability of the village which is manifested through istighosah and ruwatan agung; second, respect for ancestors through the kirab pusaka procession and scattering of flowers; third, the continuity of the ideals of the founders of Desa Demuk mediated by cross-generational discussions; and fourth, innovation in preserving tradition—including breaking the MURI record of 13,100 Takir Plontang—as a means of cultural education and collective pride. Through these findings, the sacred tradition in Desa Demuk is proven to not only preserve the heritage of ancestors, but also strengthen cultural identity and facilitate sustainable social renewal.
Keywords: Takir Plontang Heirloom Parade Cultural Preservation Philosophical Meaning.
Downloads
Article Details
Section
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
How to Cite
References
Alif Bayu Mahardika. Sejarah Perkembangan Kesenian Jaranan di Tulungagung pada Tahun 1995 hingga 2020. Cet. 1. Tulungagung: Akademia Pustaka, Januari 2021, hal. 2.
Dwi Astuti Wahyu Nurhayati. "Rice Planting Ritual Using Mantra by Caruban Community Madiun." Prasasti: Journal of Linguistics, Vol. 1, No. 1, 2021, hal. 49.
Dwi Astuti Wahyu Nurhayati, Raden Hendrayan. "Kesantunan Berbahasa Pada Tuturan Siswa SMP." Jurnal Literasi, Vol. 1, No. 2, 2022, hal. 3.
Dwi Astuti Wahyu Nurhayati et al. "Effect of Student’s Term Educational Institution on the Arising of Indonesian Morphology-Syntactial Interference." ELLT, Vol. 17, No. 1, 2021, hal. 104.
Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia, 1974, hal. 19.
Rahmah Purwahida, Bakhtiar Dwi, dan Dhani Nugrahani A. "Bahasa dalam Upacara Larung, Sedekah Laut di Bonan, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Timur." Artikel hasil PKMB, 2007.
Sukmawati, Vitri Dia, dan Dita Hendriani. "Upacara Mendhem Golekan Dalam Tradisi Suroan Sebagai Wujud Pelestarian Kearifan Lokal." Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah, Vol. 1, No. 2, hal. 7.
Sundari. Makna Tradisi Malam Selikuran (Malam, 21) Bulan Ramadhan di Dusun Payo Lebar Kecamatan Muaro Bulian Kabupaten Batanghari. Jambi: Perpustakaan Universitas Islam Negeri Sultan Thaha Saifuddin, 2021, hal. 19.